Apa pun Yang Terjadi, Ku Kan Slalu Mencintaimu…
Sebelum
aku menikah, aku kurang sekali berinteraksi dengan anak-anak. Maklum,
aku tak punya keponakan yang masih kecil. Kerabat keluargaku yang punya
anak kecil berada di kota lain. Jadinya jarang bertemu mereka. Secara
kebetulan pula, aku tak pernah punya tetangga yang punya anak kecil yang
bisa diajak bermain-main. Mungkin itu sebabnya aku kurang pandai
berkomunikasi dengan anak-anak.
Namun setelah menikah dan memiliki anak, aku jadi intens mengurus anakku ini. Aku mulai membiasakan diri berinteraksi dengan anak. Oya, aku menikah di usia 30, dan tanpa jeda terlalu lama aku hamil. Awal tahun 1998, kami dikaruniai bayi perempuan yang cantik, lucu, dan anteng. Rambutnya bagus, lurus dan tebal. Kami langsung jatuh cinta padanya. Fay, nama anakku itu, segera menjadi anak kesayangan sekeluarga; kedua orangtuaku dan adik laki-lakiku. Padahal Fay sebenarnya bukan cucu pertama dari orangtuaku. Tapi karena kakak sepupu Fay yang lebih tua setahun itu tinggal jauh di Kalimantan sana, Fay serasa cucu pertama bagi kedua orangtuaku.
Pada awalnya, Fay (yang bernama lengkap Fairuz Khairunnisa) tidur terus menerus, sampai susah diberi minum ASI. Namun tak lama kemudian, polanya berubah, ia jadi jarang bisa tertidur lelap. Siang dan malam! Sampai aku kelelahan dan badanku kurus kering.
Sejak menikah, aku berhenti bekerja. Jadi waktuku banyak digunakan untuk mengurus dan memerhatikan tumbuh kembang Fay. Aku juga punya banyak kesempatan menonton TV, yang entah kebetulan seringkali menayangkan acara yang berhubungan dengan tumbuh kembang bayi dan balita.
Sejak melek atau mulai melihat, aku mencurigai ada sesuatu yang berbeda dari Fay. Kalau ibu-ibu lain saling bertatapan dengan bayinya ketika menyusui, itu tidak terjadi padaku. Dia sama sekali tak mau menatap mataku. Dia tak mau menoleh ketika dipanggil-panggil, bahkan tak mau menatap mataku kendati kapalanya kusangga dan ditengadahkan tepat ke wajahku untuk bertatapan. Tapi seolah tak ada reaksi sama sekali. Aku waktu itu sampai mengira Fay buta dan tuli.
Semakin lama semakin banyak kelainan yang kurasakan. Fay tidak melalui tahapan merangkak, dan yang paling mencolok, saat usianya melewati satu tahun, Fay belum juga mengucapkan satu patah kata pun yang bermakna, seperti "ayah" atau "ibu". Telapak tangannya sering dikepak-kepakan (flapping), seperti gaya penyanyi Alm. Nita Tilana saat bernyanyi. Fay juga sering berjinjit, dan senang berputar-putar sambil tertawa-tawa.
Fay juga tak bisa bermain secara normal sebagaimana anak lain. Tidak bisa bermain pura-pura (pretend playing), seperti bermain masak-masakan, bermain boneka-bonekaan, dan lain-lain. Permainan kesukaan Fay adalah menderet-deretkan benda-benda menjadi satu barisan teratur.
Singkat cerita, di usia dua tahun, Fay didiagnosis menderita autisme. Sejak itulah, kami bolak-balik ke RSCM untuk menerapikan Fay sekaligus mengonsultasikannya pada dokter ahli psikiatri anak. Selain mendapat terapi di klinik, di rumah aku juga menambal jumlah jam terapi yang hanya dua jam seminggu dua kali itu.
Terapi di rumah tidak sampai delapan jam per hari, sebagaimana disarankan, tapi rata-rata enam jam per hari. Juga tidak secara marathon, melainkan dibagi tiga termin sehari, masing-masing dua jam. Aku juga, dibantu suamiku, membuat alat-alat bantu terapi berupa kartu-kartu. Kartu-kartu dari tripleks itu berisi macam-macam, mulai dari huruf, kata, hingga gambar benda-benda dan binatang, sesuai dengan perkembangan usia Fay.
Hingga usia enam tahun, Fay mendapat terapi di RSCM. Saat duduk di TK, Fay pindah tempat terapi ke sebuah klinik di Depok. Kebetulan, di kedua tempat terapi tersebut (RSCM dan Depok), para terapisnya memintaku menyaksikan proses terapi, sehingga aku bisa mengulangnya di rumah.
Ternyata autisme yang disandang anakku ini menghabiskan seluruh energiku. Bagiku terlalu banyak yang harus diajarkan, terlalu banyak yang harus dikoreksi, terlalu banyak harus dijaga konsistensinya. Juga terlalu banyak yang harus diulang.
Perkembangan Fay bisa dikatakan, maju selangkah, mundur tiga langkah! Bukan kelelahan fisik saja yang kualami. Kelelahan mental, kelelahan pikiran, dan menguras keuangan pula. Hiks... Padahal kesabaran bukanlah salah satu sifatku. Orang-orang terdekat dan para sahabat pasti tahu kalau aku sama sekali bukan orang penyabar. Maka bagiku, ini adalah ujian terberat dalam hidupku.
Seringkali aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa Allah menitipkan Fay kepada perempuan penjengkel seperti aku ini. Seringkali juga aku berdoa agar aku diberi kesabaran lebih banyak lagi. Agar Fay mempunyai ibu yang lebih sabar dan lembut. Tapi justru mungkin inilah ujian yang harus dihadapi. Apalagi hambatan utama Fay adalah masalah komunikasi. Kami jadi tidak saling memahami, tidak tahu apa maunya Fay, dan Fay pun tidak tahu apa mauku. Aku merasa jadi ibu paling buruk di dunia.
Tanggal 26 Februari 2011 ini, Fay tepat berumur 13 tahun. Sudah aqil baligh, karena mulai Jumat, 9 Juli 2010, secara fisik Fay resmi menjadi wanita. Fay mulai mendapat menstruasi. Tapi mentalnya belum. Masih kekanak-kanakan. Mandi saja masih harus diawasi agar tidak melakukan hal-hal yang tidak semestinya, semisal menyikat lantai kamar mandi dengan sikat giginya sendiri. Selain itu, juga mencegah jangan sampai Fay keluar kamar mandi sambil bertelanjang, karena belum mengenal rasa malu.
Ternyata masih banyak pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan!
Apalagi tahun ini Fay sudah kelas 6 SD, dan sebentar lagi masuk SMP. Hingga saat ini, kami masih belum juga menemukan sekolah yang mau dan mampu menampung anak berkebutuhan khusus seperti Fay. Dan yang terpenting, sekolah yang bayarannya sesuai dengan ukuran kantong kami.
Seperti de javu saja. Karena dulu ketika Fay mau masuk SD pun, kami mengalami kesulitan serupa. Di usia 7,5 tahun, Fay kami titipkan di SD negeri di dekat rumah kami. Kebetulan guru kelasnya tetangga blok rumah. Beliau bersedia mengajar Fay di kelasnya, dengan catatan, aku ikut duduk mendampingi di sebelah Fay untuk mengawasinya. Jadi, benar-benar dititipkan saja tanpa target apa-apa. Setahun penuh itu aku seolah kembali bersekolah di kelas satu SD.
Sebenarnya, tahun itu kami sudah menemukan sebuah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu); SD swasta yang menerima dan mempunyai program untuk anak kebutuhan khusus. Tapi entah mengapa, psikolog tempat kami berkonsultasi meminta kami untuk menunggu dulu selama setahun, dan kami menitipkan Fay ke sekolah negeri itu.
Tepat setahun kemudian, masuklah Fay ke SDIT yang lokasinya jauh dari rumah kami, yakni satu jam perjalanan dengan sepeda motor. SDIT itu menerima anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama anak-anak normal, satu kelas maksimal satu anak. Tapi ternyata Fay tidak diizinkan langsung masuk kelas 2, meski di SD negeri Fay sudah naik kelas. Kami menerima juga syarat itu. Yang penting Fay bisa sekolah di tempat yang tepat.
Kehebohan mencari sekolah ini berulang lagi menjelang Fay lulus SD ini. Hingga sekarang belum ada kepastian, Fay mau disekolahkan di mana. Berkaca dari kemampuan Fay menerima pelajaran di SD, aku sebenarnya ingin Fay sekolah di sekolah yang berbasis live skill, agar Fay bisa menerima pelajaran secara maksimal. Fay pun tak perlu belajar hal-hal yang memang tak mampu dilakukannya, karena keterbatasannya.
Pelajaran yang tidak mampu Fay cerna dengan baik, semisal PKN, IPS, dan Bahasa Indonesia. Tapi yang penting, Fay sekolah, walaupun tidak di sekolah yang kriterianya diinginkan orangtuanya. Agar Fay punya bekal, sesedikit apa pun dia dapatkan di sekolah...
Satu-satunya pelajaran yang mampu Fay pahami dengan baik hanyalah matematika. Nilai Fay cukup tinggi dibanding teman-temannya. Cuma kalau sudah menyangkut soal cerita, Fay mengalami kesulitan. Itu pula lah yang aku tanyakan pada salah seorang pembicara seminar mengenai pendampingan untuk anak-anak berkebutuhan khusus di UNJ, yang aku ikuti, belum lama ini.
Narasumbernya Ibu Julia, yang juga mempunyai anak berkebutuhan khusus. Beliau menjawab pertanyaanku dengan lugas, bahwa anak autis yang terlambat bicara mempunyai IQ yang rendah. "Paling-paling Cuma 70-an," katanya. Kendati anak itu sangat kelihatan mudah sekali menyelesaikan soal matematika, tetapi dia tidak bisa menyelesaikan masalah.
Contoh sederhana, dia tidak bisa berbelanja ke warung. Meski dia bisa menghitung jumlah nominal uang. Tapi ketika ditanya berapa uang kembalian yang harus dia terima, dia tidak memerdulikannya. Padahal, kalau diberi soal, misalnya Rp 5.000 - Rp 1.500, dia akan dengan mudah menjawabnya. "Seperti dalam film Rainman (film tentang penyandang autisme, yang dibintangi Dustin Hoffman dan Tom Cruise –Pen.),” tambahnya.
Aku menerima penjelasannya dengan tenang dan duduk kembali. Padahal, sebenarnya sekujur tubuhku seolah-olah dialiri perasaan dingin. Tadinya aku berharap, Fay mempunyai IQ yang cukup tinggi. Bukan untuk dibangga-banggakan, melainkan agar kemampuannya itu bisa membantu dirinya sendiri dalam mengatasi kekurangannya.
Hasil seminar itu aku diskusikan dengan konsultan anak berkebutuhan khusus di sekolah Fay. Lalu dibuatlah jadwal bagi Fay utuk mengikuti tes psikologi. Memang selama ini Fay belum pernah dites psikologi. Psikiaternya dulu menyarankan untuk menundanya, karena khawatir aku kecewa melihat hasilnya. Oh ya, seharusnya aku sudah bisa menduganya.
Hasilnya, "Fay memiliki kemampuan intelektual yang berada pada taraf slow learner (skor IQ: 83), kemampuan pemahaman performance lebih tinggi tiga kali lipat dibandingkan dengan kemampuan verbalnya. Kemampuan koodinasi visual motorik, memproduksi pola abstrak, dan konsentrasi, setara dengan anak usia 18 tahun. Namun kemampuan pemahaman terhadap pengetahuan umum dan pemahaman terhadap persoalan, setara dengan anak usia 7 tahun.
Memang, Low Average (di bawah rata-rata manusia normal), tapi tidak serendah perkiraan Ibu Julia. Lega kah? Atau kecewa? Tidak dua-duanya. Alhamdulillah, aku dan suamiku, menerimanya dengan ikhlas. Sebab itulah faktanya. Itulah Fay! Dan aku mencintai Fay. Dulu, ketika baru lahir, sekarang, hingga nanti...
Aku sudah berusaha semaksimal yang aku tahu, semaksimal yang aku mampu. Dan aku akan terus berusaha, agar Fay bisa mandiri, bisa mengurus dirinya sendiri. Agar setelah aku dan ayahnya Fay tak ada, Fay bisa hidup secara layak dan bermartabat sebagaimana manusia.
Tugasku kini hanyalah membekali Fay, memberinya bekal agar kelak sepeninggal ayah dan ibunya, Fay bisa mandiri, bisa punya penghasilan sendiri, untuk menghidupi dirinya sendiri. Karena aku ingin Fay hidup layak sesuai martabat kemanusiaannya.
Catatan: tulisan ini diikutkan dalam Sayembara Menulis QultumMedia
Keterangan foto:
Atas: Fay sewaktu bayi [Tian Arief]
Bawah: Fay setelah masuk SD [Wahyu Wibowo/Wib]
Namun setelah menikah dan memiliki anak, aku jadi intens mengurus anakku ini. Aku mulai membiasakan diri berinteraksi dengan anak. Oya, aku menikah di usia 30, dan tanpa jeda terlalu lama aku hamil. Awal tahun 1998, kami dikaruniai bayi perempuan yang cantik, lucu, dan anteng. Rambutnya bagus, lurus dan tebal. Kami langsung jatuh cinta padanya. Fay, nama anakku itu, segera menjadi anak kesayangan sekeluarga; kedua orangtuaku dan adik laki-lakiku. Padahal Fay sebenarnya bukan cucu pertama dari orangtuaku. Tapi karena kakak sepupu Fay yang lebih tua setahun itu tinggal jauh di Kalimantan sana, Fay serasa cucu pertama bagi kedua orangtuaku.
Pada awalnya, Fay (yang bernama lengkap Fairuz Khairunnisa) tidur terus menerus, sampai susah diberi minum ASI. Namun tak lama kemudian, polanya berubah, ia jadi jarang bisa tertidur lelap. Siang dan malam! Sampai aku kelelahan dan badanku kurus kering.
Sejak menikah, aku berhenti bekerja. Jadi waktuku banyak digunakan untuk mengurus dan memerhatikan tumbuh kembang Fay. Aku juga punya banyak kesempatan menonton TV, yang entah kebetulan seringkali menayangkan acara yang berhubungan dengan tumbuh kembang bayi dan balita.
Sejak melek atau mulai melihat, aku mencurigai ada sesuatu yang berbeda dari Fay. Kalau ibu-ibu lain saling bertatapan dengan bayinya ketika menyusui, itu tidak terjadi padaku. Dia sama sekali tak mau menatap mataku. Dia tak mau menoleh ketika dipanggil-panggil, bahkan tak mau menatap mataku kendati kapalanya kusangga dan ditengadahkan tepat ke wajahku untuk bertatapan. Tapi seolah tak ada reaksi sama sekali. Aku waktu itu sampai mengira Fay buta dan tuli.
Semakin lama semakin banyak kelainan yang kurasakan. Fay tidak melalui tahapan merangkak, dan yang paling mencolok, saat usianya melewati satu tahun, Fay belum juga mengucapkan satu patah kata pun yang bermakna, seperti "ayah" atau "ibu". Telapak tangannya sering dikepak-kepakan (flapping), seperti gaya penyanyi Alm. Nita Tilana saat bernyanyi. Fay juga sering berjinjit, dan senang berputar-putar sambil tertawa-tawa.
Fay juga tak bisa bermain secara normal sebagaimana anak lain. Tidak bisa bermain pura-pura (pretend playing), seperti bermain masak-masakan, bermain boneka-bonekaan, dan lain-lain. Permainan kesukaan Fay adalah menderet-deretkan benda-benda menjadi satu barisan teratur.
Singkat cerita, di usia dua tahun, Fay didiagnosis menderita autisme. Sejak itulah, kami bolak-balik ke RSCM untuk menerapikan Fay sekaligus mengonsultasikannya pada dokter ahli psikiatri anak. Selain mendapat terapi di klinik, di rumah aku juga menambal jumlah jam terapi yang hanya dua jam seminggu dua kali itu.
Terapi di rumah tidak sampai delapan jam per hari, sebagaimana disarankan, tapi rata-rata enam jam per hari. Juga tidak secara marathon, melainkan dibagi tiga termin sehari, masing-masing dua jam. Aku juga, dibantu suamiku, membuat alat-alat bantu terapi berupa kartu-kartu. Kartu-kartu dari tripleks itu berisi macam-macam, mulai dari huruf, kata, hingga gambar benda-benda dan binatang, sesuai dengan perkembangan usia Fay.
Hingga usia enam tahun, Fay mendapat terapi di RSCM. Saat duduk di TK, Fay pindah tempat terapi ke sebuah klinik di Depok. Kebetulan, di kedua tempat terapi tersebut (RSCM dan Depok), para terapisnya memintaku menyaksikan proses terapi, sehingga aku bisa mengulangnya di rumah.
Ternyata autisme yang disandang anakku ini menghabiskan seluruh energiku. Bagiku terlalu banyak yang harus diajarkan, terlalu banyak yang harus dikoreksi, terlalu banyak harus dijaga konsistensinya. Juga terlalu banyak yang harus diulang.
Perkembangan Fay bisa dikatakan, maju selangkah, mundur tiga langkah! Bukan kelelahan fisik saja yang kualami. Kelelahan mental, kelelahan pikiran, dan menguras keuangan pula. Hiks... Padahal kesabaran bukanlah salah satu sifatku. Orang-orang terdekat dan para sahabat pasti tahu kalau aku sama sekali bukan orang penyabar. Maka bagiku, ini adalah ujian terberat dalam hidupku.
Seringkali aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa Allah menitipkan Fay kepada perempuan penjengkel seperti aku ini. Seringkali juga aku berdoa agar aku diberi kesabaran lebih banyak lagi. Agar Fay mempunyai ibu yang lebih sabar dan lembut. Tapi justru mungkin inilah ujian yang harus dihadapi. Apalagi hambatan utama Fay adalah masalah komunikasi. Kami jadi tidak saling memahami, tidak tahu apa maunya Fay, dan Fay pun tidak tahu apa mauku. Aku merasa jadi ibu paling buruk di dunia.
* * *
Tanggal 26 Februari 2011 ini, Fay tepat berumur 13 tahun. Sudah aqil baligh, karena mulai Jumat, 9 Juli 2010, secara fisik Fay resmi menjadi wanita. Fay mulai mendapat menstruasi. Tapi mentalnya belum. Masih kekanak-kanakan. Mandi saja masih harus diawasi agar tidak melakukan hal-hal yang tidak semestinya, semisal menyikat lantai kamar mandi dengan sikat giginya sendiri. Selain itu, juga mencegah jangan sampai Fay keluar kamar mandi sambil bertelanjang, karena belum mengenal rasa malu.
Ternyata masih banyak pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan!
Apalagi tahun ini Fay sudah kelas 6 SD, dan sebentar lagi masuk SMP. Hingga saat ini, kami masih belum juga menemukan sekolah yang mau dan mampu menampung anak berkebutuhan khusus seperti Fay. Dan yang terpenting, sekolah yang bayarannya sesuai dengan ukuran kantong kami.
Seperti de javu saja. Karena dulu ketika Fay mau masuk SD pun, kami mengalami kesulitan serupa. Di usia 7,5 tahun, Fay kami titipkan di SD negeri di dekat rumah kami. Kebetulan guru kelasnya tetangga blok rumah. Beliau bersedia mengajar Fay di kelasnya, dengan catatan, aku ikut duduk mendampingi di sebelah Fay untuk mengawasinya. Jadi, benar-benar dititipkan saja tanpa target apa-apa. Setahun penuh itu aku seolah kembali bersekolah di kelas satu SD.
Sebenarnya, tahun itu kami sudah menemukan sebuah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu); SD swasta yang menerima dan mempunyai program untuk anak kebutuhan khusus. Tapi entah mengapa, psikolog tempat kami berkonsultasi meminta kami untuk menunggu dulu selama setahun, dan kami menitipkan Fay ke sekolah negeri itu.
Tepat setahun kemudian, masuklah Fay ke SDIT yang lokasinya jauh dari rumah kami, yakni satu jam perjalanan dengan sepeda motor. SDIT itu menerima anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama anak-anak normal, satu kelas maksimal satu anak. Tapi ternyata Fay tidak diizinkan langsung masuk kelas 2, meski di SD negeri Fay sudah naik kelas. Kami menerima juga syarat itu. Yang penting Fay bisa sekolah di tempat yang tepat.
Kehebohan mencari sekolah ini berulang lagi menjelang Fay lulus SD ini. Hingga sekarang belum ada kepastian, Fay mau disekolahkan di mana. Berkaca dari kemampuan Fay menerima pelajaran di SD, aku sebenarnya ingin Fay sekolah di sekolah yang berbasis live skill, agar Fay bisa menerima pelajaran secara maksimal. Fay pun tak perlu belajar hal-hal yang memang tak mampu dilakukannya, karena keterbatasannya.
Pelajaran yang tidak mampu Fay cerna dengan baik, semisal PKN, IPS, dan Bahasa Indonesia. Tapi yang penting, Fay sekolah, walaupun tidak di sekolah yang kriterianya diinginkan orangtuanya. Agar Fay punya bekal, sesedikit apa pun dia dapatkan di sekolah...
Satu-satunya pelajaran yang mampu Fay pahami dengan baik hanyalah matematika. Nilai Fay cukup tinggi dibanding teman-temannya. Cuma kalau sudah menyangkut soal cerita, Fay mengalami kesulitan. Itu pula lah yang aku tanyakan pada salah seorang pembicara seminar mengenai pendampingan untuk anak-anak berkebutuhan khusus di UNJ, yang aku ikuti, belum lama ini.
Narasumbernya Ibu Julia, yang juga mempunyai anak berkebutuhan khusus. Beliau menjawab pertanyaanku dengan lugas, bahwa anak autis yang terlambat bicara mempunyai IQ yang rendah. "Paling-paling Cuma 70-an," katanya. Kendati anak itu sangat kelihatan mudah sekali menyelesaikan soal matematika, tetapi dia tidak bisa menyelesaikan masalah.
Contoh sederhana, dia tidak bisa berbelanja ke warung. Meski dia bisa menghitung jumlah nominal uang. Tapi ketika ditanya berapa uang kembalian yang harus dia terima, dia tidak memerdulikannya. Padahal, kalau diberi soal, misalnya Rp 5.000 - Rp 1.500, dia akan dengan mudah menjawabnya. "Seperti dalam film Rainman (film tentang penyandang autisme, yang dibintangi Dustin Hoffman dan Tom Cruise –Pen.),” tambahnya.
Aku menerima penjelasannya dengan tenang dan duduk kembali. Padahal, sebenarnya sekujur tubuhku seolah-olah dialiri perasaan dingin. Tadinya aku berharap, Fay mempunyai IQ yang cukup tinggi. Bukan untuk dibangga-banggakan, melainkan agar kemampuannya itu bisa membantu dirinya sendiri dalam mengatasi kekurangannya.
Hasil seminar itu aku diskusikan dengan konsultan anak berkebutuhan khusus di sekolah Fay. Lalu dibuatlah jadwal bagi Fay utuk mengikuti tes psikologi. Memang selama ini Fay belum pernah dites psikologi. Psikiaternya dulu menyarankan untuk menundanya, karena khawatir aku kecewa melihat hasilnya. Oh ya, seharusnya aku sudah bisa menduganya.
Hasilnya, "Fay memiliki kemampuan intelektual yang berada pada taraf slow learner (skor IQ: 83), kemampuan pemahaman performance lebih tinggi tiga kali lipat dibandingkan dengan kemampuan verbalnya. Kemampuan koodinasi visual motorik, memproduksi pola abstrak, dan konsentrasi, setara dengan anak usia 18 tahun. Namun kemampuan pemahaman terhadap pengetahuan umum dan pemahaman terhadap persoalan, setara dengan anak usia 7 tahun.
Memang, Low Average (di bawah rata-rata manusia normal), tapi tidak serendah perkiraan Ibu Julia. Lega kah? Atau kecewa? Tidak dua-duanya. Alhamdulillah, aku dan suamiku, menerimanya dengan ikhlas. Sebab itulah faktanya. Itulah Fay! Dan aku mencintai Fay. Dulu, ketika baru lahir, sekarang, hingga nanti...
Aku sudah berusaha semaksimal yang aku tahu, semaksimal yang aku mampu. Dan aku akan terus berusaha, agar Fay bisa mandiri, bisa mengurus dirinya sendiri. Agar setelah aku dan ayahnya Fay tak ada, Fay bisa hidup secara layak dan bermartabat sebagaimana manusia.
Tugasku kini hanyalah membekali Fay, memberinya bekal agar kelak sepeninggal ayah dan ibunya, Fay bisa mandiri, bisa punya penghasilan sendiri, untuk menghidupi dirinya sendiri. Karena aku ingin Fay hidup layak sesuai martabat kemanusiaannya.
* * * * *
Catatan: tulisan ini diikutkan dalam Sayembara Menulis QultumMedia
Keterangan foto:
Atas: Fay sewaktu bayi [Tian Arief]
Bawah: Fay setelah masuk SD [Wahyu Wibowo/Wib]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home