[Fay] Bukannya Tak Mengerti
Ketika
pertemuan orangtua ABK (anak berkebutuhan khusus) di sekolah Fay, Sabtu
(26/2) --bertepatan dengan ultah Fay, --Bu Ifa, psikolog di sekolah
Fay, menceritakan pengalaman anak asuhnya di sekolah lain. Anak asuhnya
itu, seorang anak laki-laki penyandang autis yang baru duduk di kelas 4
SD itu, sedang jatuh cinta. Rupanya, ia mengalami puber lebih dini.
Ketika anak itu sedang berbunga-bunga menyukai lawan jenis, ayah kandungnya yang memang sudah lama sakit, meninggal dunia. Kabar itu sampai ketika anak itu masih di sekolah. Dengan hati-hati, Bu Ifa memberitahukan kabar duka itu pada si anak, lalu pergi mendampinginya ke rumah duka.
Sesampainya di rumah duka, Bu Ifa meminta anak itu untuk melihat jenazah ayahnya untuk terakhir kalinya. Ia ingin melihat, apakah anak itu sedih dengan kematian ayahnya. Namun tak lama kemudian, Bu Ifa mendapati si ABG itu sedang senyam-senyum bahagia.
Ketika ditanya mengapa dia tersenyum, dengan semangat, dia menunjuk seorang perempuan. "Itu loh bu yang sedang menyuapi," katanya. Ternyata, dia menunjuk seorang pembantu tetangganya --perempuan yang dia taksir selama ini.
* * *
Cerita ini mengingatkanku pada peristiwa di bulan April 2005. Saat ibuku meninggal dunia di Pelabuhanratu. Berangkatlah kami sekeluarga ke sana. Biasanya kalau kami menengok ortuku di Pelabuhanratu, kami selalu menyempatkan diri ke pantai dan bermain-main air laut. Fay memang paling senang bermain-main dengan ombak. Rumah orangtuaku kebetulan persis menghadap pantai, hanya berjarak sekitar 300 meter, di seberang jalan utama.
Jenazah ibuku dibaringkan di rumah nenekku yang berjarak beberapa kilometer dari pantai. Karena keperluan hari itu hanya untuk berduka di rumah nenek, hingga pemakaman ibuku, ternyata itu membuat Fay --yang saat itu berusia 7 tahun-- merasa terganggu rutinitas alias "ritualnya". Dia tak mau berlama-lama di rumah duka, dan ingi segera ke pantai.
Meski sudah diperlihatkan jenazah ibuku, dia tak mau peduli, tak mau mengerti betapa ibunya sedang berduka! Fay menjerit-jerit dan tantrum. Hingga para pelayat bertanya-tanya.
Terpaksalah selama persiapan penguburan, ayah Fay terus menerus mendampingi Fay, mengajaknya bermain berkeliling, karena ibu sedang tidak mampu menangani perasaan sendiri.
Padahal Amih (begitu Fay memanggil ibuku), sangat sayang sekali pada Fay. Apakah Fay waktu itu belum memahami konsep kematian? Kenyataannya, Fay tak pernah lagi bertanya di mana Amih, dan tak menjawab ketika ditanya, Amih di mana. Ternyata cerita Bu Ifa di atas, sedikit menjawab pertanyaannku.
Tampaknya dia paham apa yang terjadi. Hanya saja, perasaaannya yang dominan saat itu adalah ingin ke laut, mandi di pantai. Dia tak mampu menunjukkan rasa duka dan empati. Dan memang itulah salah satu ciri anak autis...
Ketika anak itu sedang berbunga-bunga menyukai lawan jenis, ayah kandungnya yang memang sudah lama sakit, meninggal dunia. Kabar itu sampai ketika anak itu masih di sekolah. Dengan hati-hati, Bu Ifa memberitahukan kabar duka itu pada si anak, lalu pergi mendampinginya ke rumah duka.
Sesampainya di rumah duka, Bu Ifa meminta anak itu untuk melihat jenazah ayahnya untuk terakhir kalinya. Ia ingin melihat, apakah anak itu sedih dengan kematian ayahnya. Namun tak lama kemudian, Bu Ifa mendapati si ABG itu sedang senyam-senyum bahagia.
Ketika ditanya mengapa dia tersenyum, dengan semangat, dia menunjuk seorang perempuan. "Itu loh bu yang sedang menyuapi," katanya. Ternyata, dia menunjuk seorang pembantu tetangganya --perempuan yang dia taksir selama ini.
* * *
Cerita ini mengingatkanku pada peristiwa di bulan April 2005. Saat ibuku meninggal dunia di Pelabuhanratu. Berangkatlah kami sekeluarga ke sana. Biasanya kalau kami menengok ortuku di Pelabuhanratu, kami selalu menyempatkan diri ke pantai dan bermain-main air laut. Fay memang paling senang bermain-main dengan ombak. Rumah orangtuaku kebetulan persis menghadap pantai, hanya berjarak sekitar 300 meter, di seberang jalan utama.
Jenazah ibuku dibaringkan di rumah nenekku yang berjarak beberapa kilometer dari pantai. Karena keperluan hari itu hanya untuk berduka di rumah nenek, hingga pemakaman ibuku, ternyata itu membuat Fay --yang saat itu berusia 7 tahun-- merasa terganggu rutinitas alias "ritualnya". Dia tak mau berlama-lama di rumah duka, dan ingi segera ke pantai.
Meski sudah diperlihatkan jenazah ibuku, dia tak mau peduli, tak mau mengerti betapa ibunya sedang berduka! Fay menjerit-jerit dan tantrum. Hingga para pelayat bertanya-tanya.
Terpaksalah selama persiapan penguburan, ayah Fay terus menerus mendampingi Fay, mengajaknya bermain berkeliling, karena ibu sedang tidak mampu menangani perasaan sendiri.
Padahal Amih (begitu Fay memanggil ibuku), sangat sayang sekali pada Fay. Apakah Fay waktu itu belum memahami konsep kematian? Kenyataannya, Fay tak pernah lagi bertanya di mana Amih, dan tak menjawab ketika ditanya, Amih di mana. Ternyata cerita Bu Ifa di atas, sedikit menjawab pertanyaannku.
Tampaknya dia paham apa yang terjadi. Hanya saja, perasaaannya yang dominan saat itu adalah ingin ke laut, mandi di pantai. Dia tak mampu menunjukkan rasa duka dan empati. Dan memang itulah salah satu ciri anak autis...
0 Comments:
Post a Comment
<< Home