Ingin Aku Percaya...
Tadi
siang, aku menawari Fay makan siang. Di dapur sudah tersaji sayur labu
dan lauk lainnya, hasil masakanku. Tapi Fay malah mau makan bakso dan
mie. "Dengan indomie soto!" katanya, menyebut rasa dari mie instan itu
secara spesifik. Karena Fay terus memaksa, dan aku lagi nggak mood
berbantahan dengan Fay, maka aku pun ke warung untuk beli indomie.
Sebelumnya, aku mewanti-wanti Fay agar tidak melakukan apa-apa, dengan
asumsi, aku percaya Fay. "Duduk aja, jangan melakukan apa-apa." Pisau
yang sebelumnya dia gunakan untuk memotong tali kur sudah kuamankan.
Setelah mengunci pintu rumah dari luar, berangkatlah aku ke warung. Beberapa menit kemudian, aku kembali. Di lantai tergeletak celana panjang putih miliknya. Ada bolong bekas tebakar dan baunya pun masih tercium. Aku cek ke dapur, api kompor sudah padam, hanya saja posisi tombolnya masih miring sedikit.
Ternyata, Fay tidak bisa "dipegang". Meski sudah kuwanti-wanti tidak melakukan apa pun, Fay malah membakar celananya sendiri. Mungkin sudah tidak dikehendakinya.
Aku pun menghukumnya, dengan tidak memberikan indomie yang dimintanya. Ketika aku bilang: "Fay, tidak boleh makan indomie!", Fay malah tertawa terbahak-bahak. Ia sama sekali tak menolak ketika aku beri makan siang dengan nasi dan sayur labu yang sudah kusiapkan.
Ayahnya, ketika aku SMS, menyarankan agar aku membawa serta Fay ke warung, daripada berbuat yang aneh-aneh selama ditinggalkan di rumah sendirian. Tapi aku malas membawa Fay ke warung, karena banyak kemungkinan yang bisa terjadi di ruang terbuka. Misalnya, mengacak-acak warung, kabur, dll. Dan aku sudah tak muda lagi. Tenagaku tak sekuat Fay yang semakin besar, dan lariku tak sekencang Fay yang mulai remaja itu...
Jengkel, marah, kecewa, sedih, dan patah hatiku. Berkali-kali Fay "mengerjaiku" begitu. Berkali-kali aku "kena" akal bulusnya. Itu mungkin karena di dasar hatiku yang paling dalam aku ingin percaya pada Fay.
Ibu ingin percaya Fay. Ketika Fay menginginkan sesuatu adalah memang itulah adanya. Bukan untuk mengalihkan ibu/ayah dan kemudian Fay melaksanakan niat yang sebenarnya. Hiks hiks hiks...
Setelah mengunci pintu rumah dari luar, berangkatlah aku ke warung. Beberapa menit kemudian, aku kembali. Di lantai tergeletak celana panjang putih miliknya. Ada bolong bekas tebakar dan baunya pun masih tercium. Aku cek ke dapur, api kompor sudah padam, hanya saja posisi tombolnya masih miring sedikit.
Ternyata, Fay tidak bisa "dipegang". Meski sudah kuwanti-wanti tidak melakukan apa pun, Fay malah membakar celananya sendiri. Mungkin sudah tidak dikehendakinya.
Aku pun menghukumnya, dengan tidak memberikan indomie yang dimintanya. Ketika aku bilang: "Fay, tidak boleh makan indomie!", Fay malah tertawa terbahak-bahak. Ia sama sekali tak menolak ketika aku beri makan siang dengan nasi dan sayur labu yang sudah kusiapkan.
Ayahnya, ketika aku SMS, menyarankan agar aku membawa serta Fay ke warung, daripada berbuat yang aneh-aneh selama ditinggalkan di rumah sendirian. Tapi aku malas membawa Fay ke warung, karena banyak kemungkinan yang bisa terjadi di ruang terbuka. Misalnya, mengacak-acak warung, kabur, dll. Dan aku sudah tak muda lagi. Tenagaku tak sekuat Fay yang semakin besar, dan lariku tak sekencang Fay yang mulai remaja itu...
Jengkel, marah, kecewa, sedih, dan patah hatiku. Berkali-kali Fay "mengerjaiku" begitu. Berkali-kali aku "kena" akal bulusnya. Itu mungkin karena di dasar hatiku yang paling dalam aku ingin percaya pada Fay.
Ibu ingin percaya Fay. Ketika Fay menginginkan sesuatu adalah memang itulah adanya. Bukan untuk mengalihkan ibu/ayah dan kemudian Fay melaksanakan niat yang sebenarnya. Hiks hiks hiks...
0 Comments:
Post a Comment
<< Home